BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berpikir adalah
daya paling utama dan merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari
hewan.Manusia dapat berpikir karena mempunyai bahasa. Dengan bahasa manusia
dapat memberi nama kepada segala sesuatu yang ada di alam semesta, baik yang
kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dengan demikian, segala sesuatu yang
pernah diamati dan dialami dapat disimpannya,menjadi tanggapan-tanggapan dan
pengalaman-pengalaman yang kemudian diolahnya (berpikir) menjadi
pengertian-pengertian bermakna. Dengan singkat,karena manusia memiliki dan
mampu berbahasa maka manusia berpikir. Kita berpikir untuk menemukan pemahaman
dari rasa keingintahuan kita terhadap sesuatu.Pengetahuan dimulai dari rasa ingin
tahu yang besar, kepastian dimulaidengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai
dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita
tahu dan apa yang belum kita tahu.
Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala
sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam manusia, danmanusia itu
sendiri, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikat yang
dapat dicapai akal manusia dan sejauh mana ia mengetahuinya setelah mencapai
pengetahuan.Untuk mengetahui tentang ketiga hal tersebut diatas manusia selalu
menggunakan akalnya untuk berpikir memecahkan persoalan-persoalan agar ia dapat
mengetahui apa yang ada dalam dirinya, apa yang ada di alam ini dan siapa yang
menciptakan alam semesta ini.
Berfilsafat berarti berendah diri bahwa
tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tidak
terbatas ini. Demikian juga berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam
keberanian berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari
telah kita jangkau.
Dalam
sejarah pun dicatat perkembangan pengetahuan manusia mulai dari filsafat sampai
pada ilmu pengetahuan. Pada zaman Yunani Kuno yang ditandai dengan perubahan
pola pikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris.Manusia tidak lagi
berpikir mitos terhadap gejala alam, tetapi mulai berpikir itu sebagai
kausalitas.Sehingga, manusia pada waktu itu tidak pasif, melainkan proaktif
dankreatif, sehingga alam dijadikan objek penelitian dan pengkajian.Pengetahuan
manusia pun berkembang dari masa ke masa. Mulai dari masa Yunani Kuno (700 SM),
masa Islam klasik, masa kejayaan Islam, masa Renaisans (abad ke 15-16), masa
modern (abad 17-19), dan zaman kontemporer (abad ke 20).Zaman kontemporer
ditandai dengan perkembangan ilmu dan teknologi tinggi, sehingga dikenal pula
zaman eraglobalisasi.Dimana informasi dan transpormasi budaya dapat dilakukan
dengan sangat mudah.
Perkembangan
pola pemikiran manusia dari masa ke masa selalu mengalami perkembangan, hal ini
ditandai dengan banyaknya penemuan-penemuan terbaru dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dahulu adalah sesuatu yang tidak mungkin untuk diciptakan.Namun,
ini mempunyai dampak yang akan ditimbulkan, baik itu secara langsung maupun
tidak langsung bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Tetapi pada dasarnya,
para ilmuan yang menjadi peletak dasar ilmu pengetahuan yang sekarang ini tidak
menginginkan adanya kerusakan-kerusakan, tetapi untuk sekedar diketahui dan
dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi keberlangsungan hidup manusia di alam semesta
ini.
Perkembangan
ilmu dan teknologi yang semula untuk mempermudah pekerjaan manusia, tetapi
kenyataannya teknologi telah menimbulkan keresahan dan ketakutan baru bagi
kehidupan manusia.Sebagai contoh adanya penemuan televisi, komputer, handphone
telah mengakibatkan kita terlena dengan dunia layar.Sehingga, komunikasi sosial
kita dengan keluarga dan masyarakat sering terabaikan. Begitu pun dengan adanya
bioteknologi yang merancang adanya bayi kloning, mengakibatkan keresahan
berbagai kalangan, seperti agamawan dan ahli etika.
1.2 Rumusan Masalah
Bertitik
tolak dari apa yang dikemukakan diatas, maka dapat dirumuskan suatu
permasalahan yaitu; bagaimana hubungan antara etika sains, keadilan dan
identitas ?
1.3 Tujuan
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang
menjadi tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui hubungan antara etika sains, keadilan dan identitas
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Etika
Etika
berasal dari bahasa Yunani “ethos”
yang berarti Kebiasaan. Yang berarti kebiasaan baik dan kebiasaan buruk, makna
etika dalam kamus besar bahasa Indonesia yaitu ilmu tentang apa yang baik dan
apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral atau akhlak. Di dalam
pendidikan diterangkan bahwa etika adalah filsafat tentang nilai, kesusilaan
baik dan buruk suatu tingkah laku manusia yang digunakan dengan akal pikiran
karena akal yang menentukan perbuatan manusia itu baik atau buruk.
Etika
disebut juga filsafat moral (moral
philosophy), yang berasal dari kata ethos
(Yunani) yang berarti watak.Moral berasal dari kata “mos” atau “mores” (Latin)
yang artinya kebiasaan.Dalam bahasa Indonesia istilah moral atau etika
diartikan kesusilaan.Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan
manusia, sedang objek formal etika adalah kebaikan atau keburukan, bermoral
atau tidak bermoral.Moralitas manusia adalah objek kajian etika yang telah
berusia sangat lama.Sejak masyarakat manusia terbentuk, persoalan perilaku yang
sesuai dengan moralitas telah menjadi bahasan.
Ada beberapa
pengertian moral dalam paham the Advanced Learner’s Dictionary of Current
English dalam Agustina
(2012)yaitu:
1. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan benar dan salah, baik
dan buruk.
2. Kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar dan salah.
3. Ajaran atau gambaran tingkah laku yang baik.
Dari
ketiga tersebut dapat dipahami Bahwa Moral adalah Istilah yang digunakan untuk
memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai baik atau buruk,
benar atau salah. Jika moral dan etika ini dihubungkan maka dapat dikatakan
bahwa moral dan etika ini memiliki karakter yang sama yaitu sama-sama membahas
tentang perbuatan manusia yang baik atau yang buruk.
Perbedaan
dari etika dan moral adalah kalau etika dapat dikatakan untuk menetukan nilai
perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur dengan menggunakan
norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung dalam masyarakat, sedangkan
moral muncul dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat, dengan tolak
ukur yang digunakan dalam moral adalah untuk mengukur tingkah laku manusia
dengan adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku di masyarakat.Etika/akhlak
termasuk salah satu komponen dalam filsafat.
Selanjutnya
Wijayanta (2012) menjelaskan bahwa berkaitan dengan hal diatas,
kemudian muncul dua teori yang menjelaskan bagaimana suatu perilaku itu dapat
diukur secara etis.Teori yang dimaksud adalah Deontologis dan Teologis.
a. Deontologis, Teori Deontologis diilhami oleh pemikiran
Immanuel Kant, yang terkesan kaku, konservatif dan melestarikan status quo,
yaitu menyatakan bahwa baik buruknya suatu perilaku dinilai dari sudut tindakan
itu sendiri, dan bukan akibatnya. Suatu perilaku baik apabila perilaku itu
sesuai norma-norma yang ada.
b. Teologis, Teori Teologis lebih menekankan pada unsur hasil.
Suatu perilaku baik jika buah dari perilaku itu lebih banyak untung daripada
ruginya, dimana untung dan rugi ini dilihat dari indikator kepentingan manusia.
Teori ini memunculkan dua pandangan, yaitu egoisme dan utilitarianisme
(utilisme). Tokoh yang mengajarkan adalah Jeremy Bentham (1742 – 1832), yang
kemudian diperbaiki oleh john Stuart Mill (1806 – 1873).
Para
ilmuwan sebagai profesional di bidang keilmuan tentu perlu memiliki visi moral,
yang dalam filsafat ilmu disebut sebagai
sikap ilmiah, yaitu suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan
ilmiah yang bersifat objektif, yang bebas dari prasangka pribadi, dapat
dipertanggungjawabkan secara sosial dan kepada Tuhan.Muntasyir
& Munir (2002)3 mengemukakan bahwa
sikap ilmiah yang perlu dimiliki oleh para ilmuwan sedikitnya ada enam, yaitu:
1. Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness),
merupakan sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif
dan menghilangkan pamrih.
2. Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar
para ilmuwan mampu mengadakan pemilihan terhadap segala sesuatu yang dihadapi.
3. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan
maupun terhadap alat-alat indera serta budi.
4. Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan dan dengan
merasa pasti bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai
kepastian.
5. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa ilmuwan harus selalu tidak
puas terhadap penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada dorongan
untuk riset. Dan riset atau penelitian merupakan aktifitas yang menonjol dalam
hidupnya.
6. Memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu berkehendak untuk
mengembangkan ilmu bagi kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia. Secara
terminologi, etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau
perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik dan buruk. Yang dapat dinilai
baik dan buruk adalah sikap manusia yang menyangkut perbuatan, tingkah laku,
gerakan, kata dan sebagainya. Dalam etika ada yang disebut etika normatif,
yaitu suatu pandangan yang memberikan penilaian baik dan buruk, yang harus
dikerjakan dan yang tidak.
Ali, F (2003) menyatakan bahwa perkembangan
pemikiran manusia yang teraplikasi pada temuan dari berbagai disiplin ilmu dan
teknologi dalam awal perjalanannya hingga munculnya pemikiran quantum, tidaklah
signifikan dengan perkembangan moral manusia.Pemikiran dan dalam berbagai
aplikasi telah melahirkan begitu banyak teori dan konsep serta begitu ragam metode
yang dapat digunakan dalam memenuhi kebutuhan manusia, langsung dan tidak
langsung, namun kesemuanya itu belum dapat menghentikan keinginan manuasia
berbuat yang yang tidak bermoral.Ilmu dan teknologi pada hakekatnya digunakan
untuk menguak kebenaran di dalam realitasnya hanya dimanfaatkan untuk
kepentingan manusia seseorang, sekolompok dengan berbagai perilaku yang dapat
memenuhi keinginan dengan mengabaikan kemanfaatan yang dibangun diatas landasan
moral dan etika serta diimani oleh keyakinan yangt mendalam atas ajaran-ajaran
keagamaan apalagi jika mendasarkan pada agama tauhid.
Penerapan
dari ilmu membutuhkan dimensi etika sebagai pertimbangan dan yang mempunyai
pengaruh pada proses perkembangannya lebih lanjut. Tanggung jawab etika
menyangkut pada kegiatan dan penggunaan ilmu.Dalam hal ini pengembangan ilmu
pengetahuan harus memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, keseimbangan
ekosistem, bersifat universaldan sebagainya, karena pada dasarnya ilmu
pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia dan
bukan untuk menghancurkannya.Penemuan baru dalam ilmu pengetahuan dapat
mengubah suatu aturan alam maupun manusia.Hal ini menuntut tanggung jawab etika
untuk selalu menjaga agar yang diwujudkan tersebut merupakan hasil yangterbaik
bagi perkembangan ilmu dan juga eksistensi manusia secara utuh.
2.2 Keadilan
Hamka
(2002)5 menjelaskan bahwa kata keadilan amat luas artinya, dan
banyak keutamaan lain yang bergantung kepadanya, seperti berbuat baik kepada
orang lain, tulus dan ikhlas, membela kemanusiaan, mencintai tanah air, menjaga
budi pekerti, dermawan dan menjaga hak persamaan. Filsafat nasrani mengajarkan
arti keadilan ialah jangan lakukan kepada orang lain, sesuatu yang kita tidak
senang, kalau dilakukan orang lain kepada kita. Sedangkan Nabi Muhammad SAW
mengajarkan bahwa tidaklah beriman seorang kamu sebelum dia mencintai
saudaranya sebagai mencintai dirinya sendiri.Di dalam undang-undang dasar,
dunia keadilan mengandung tiga perkara yaitu: persamaan, kemerdekaan, dan hak
milik.
Kewajiban
yang paling utama dalam masyarakat ialah menghormati orang lain dalam
kehidupannya, kemerdekaannya dan pribadinya, dihormati pula kepercayaan dan hak
miliknya. Menghormati kehidupan manusia yang lain adalah tujuan yang terutama
dalam hukum keadilan.
Seorang
ilmuan seyogyanya dapat berlaku adil dalam penerapan ilmu pengetahuan yang dimiliknya.
Sebab, hal ini akan berdampak pada tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara, karena seorang ilmuan, tidak akan memanfaatkan ilmunya untuk
kehancuran manusia atau alam semesta ini, tetspi dia memanfaatkan ilmu sesuai
pada tempatnya. Ilmuan yang berlaku adil akan menghormati segenap manusia yang
ada, karena ia akan mengetahui bahwa setiap manusia mempunyai potensi berbeda
dengan manusia yang lain, termasuk dirinya.
Pada
haikatnya seorang ilmuan, tidak akan melakukan diskriminasi atau dikotomi atau
perbedaan dalam memandang segala aspek yang diketahuinya serta ia tidak akan
menjual ilmu yang dimilikinya kepada penguasa-penguasa tertentu untuk membunuh,
menghancurkan, atau melenyapkan manusia yang lain dari muka bumi ini. Telah
banyak terjadi, para ilmuan kita dipaksa atau terpaksa untuk membuat atau
menjual ilmunya demi sesuatu hal yang bertentangan dengan hukum keadilan demi
para penguasa yang tidak menghormati hak-hak hidup serta kemerdekaan orang
lain.
Hamka
(2002) menyatakan bahwa hendaklah ilmu itu sama majunya dengan
kemanusiaan, jangan ilmu yang maju, tetapi nilai-nilai kemanusiaan yang mundur.
Adapun ilmu yang merusak yang diukur dengan hawa nafsu, ilmu yang tiada
berperasaan yang merugikan tidaklah dikehendaki dalam ajaran agama islam atau
agama lainnya.
2.3 Hubungan Etika, Keadilan
dan Identitas
Identitas
atau jati diri seorang ilmuan dapat dikenali dari ilmunya atau konsep konsep
keilmuan yang dimilikinya.Pemikiran yang dibangun diatas landasan pemikiran rasional serta
dengan nilai aksiologis yang ditujukan pada pencapaian efektivitas, efesiensi,
ekonomis yang hingga kini telah mengembangkan sayap axiologisnya pada nilai
keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan berbagai nilai yang dituntut oleh
paradigma pemikiran mutaahir, di dalam aplikasi konsep pada berbagai bidang
kegiatan, telah melahirkan perbuatan-perbuatan yang secara sifnifikan dengan
rasio namun tidak signifikan dengan perkembangan moral manusia.
Safitri
(2013) mengemukakan bahawa etika keilmuan merupakan etika normatik
yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkansecara
rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan
adalah agar seorang ilmuan dapatmenerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang
baik dan menghindarkan dari yang buruk kedalam perilaku keilmuannya, sehingga
ia dapat menjadi ilmuan yang mempertanggungjawabkan keilmuannya. Etika normatif
menetapkan kaidah-kaidahyang mendasari pemberian penilaian terhadap
perbuataan-perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yangseharusnya
terjadi serta menetapkan apa yang bertentangan dan apa yang seharusnya
terjadi.Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan
norma moral. Bagi seorang ilmuan nilai dannorma moral yang dimilikinya akan
menjadi penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuan yang baik atau belum. Tugas
seorangilmuan harus menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar
rasionalitas dan metodologis yang tepat agar dapat dipergunakan
oleh masyarakat.
Setiap
ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada
masyarakat. Prosesilmu pengetahuan menjadi teknologi yang benar-benar dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari ilmuwannya. Seorang
ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah
kepentingan masyarakatakan membawa pada persoalan etika keilmuwan serta masalah
bebas nilai. Untuk itulah tanggung jawab seorang ilmuwanharus
"dipupuk" dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis
dan tanggung jawab moral.
Dewasa
ini, perkembangan ilmu sudah melenceng jauh dari hakikatnya, dimana ilmu bukan
lagi merupakan saranayang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun
bahkan kemungkinan menciptakan tujuan hidup itu sendiri.Disinilah moral sangat
berperan sebagai landasan normatif dalam penggunaan ilmu serta dituntut
tanggung jawab sosial ilmuwan dengan kapasitas keilmuwannya dalam menuntun
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga tujuanhakiki dalam
kehidupan manusia bisa tercapai.Di bidang etika tangguna jawab seorang ilmuan
adalah bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerimapendapat orang
lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar dan berani mengakui kasalahan.
Ilmu menghasilkanteknologi yang akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi
dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamatbagi manusia, tetapi juga
bisa menjadi bencana bagi manusia.Disinilah pemanfataan pengetahuan dan
teknologidiperhatikan sebaik-baiknya.
Ilmuwan
mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan kepada masyarakat dalam bahasa
yang mudah dicerna.Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan adalah memberikan
perspektif yang benar, untung dan rugi, baik dan buruknya,sehingga penyelesaian
yang objektif dapat dimungkinkan.Dengan kemampuan pengetahuannya seorang
ilmuwan harusdapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang
seyogyanya mereka sadari.Dalam hal ini, berbedadengan menghadapi masyarakat,
ilmuwan yang elitis dan esoteric, dia harus berbicara dengan bahasa yang dapat
dicernaoleh orang awam.Untuk itu ilmuwan bukan saja mengandalkan pengetahuannya
dan daya analisisnya namun juga integritaskepribadiannya.Seorang ilmuwan pada
hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti. Seorang
ilmuwan tidak menolak dan menerima sesuatu secara begitu saja tanpa pemikiran
yang cermat. Disinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara
berpikir orang awam. Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur
dan cermat.Inilahyang menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial. Dia
mesti berbicara kepada masyarakat sekiranya ia mengetahui bahwa berpikir mereka
keliru, dan apa yang membikin mereka keliru, dan yang lebih penting lagi harga
apa yang harus dibayar untuk kekeliruan itu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan dan latar belakang diatas, maka kesimpulan dari tulisan ini adalah
seorang ilmuan mempunyai tanggung jawab sosial kepada orang lain berupa etika,
keadilan dan mempunyai integritas kepribadian yang tinggi, agar ilmu yang
didapatkannya dapat bermanfaat bagi masyarakat, berbangsa dan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina. 2012. Filsafat,
Filsafat Ilmu Pengetahuan, Pengetahuan,Sains Biologi dan Agama.http://hotmariaagustina.blogspot.com/2012/09/filsafatfilsafat-ilmu-pengetahuanilmu.html(online) diakses 15 November
2013.
Ali, Faried. 2003. Redefinisi Administrasi
Dalam Lintasan Pemikiran Filsafat (Suatu Kajian Konseptual Tentang Alternatif
Pencegahan Korupsi dan Mal Praktek Administrasi Serta Terapi Penyakit
Birokrasi). Jurnal.Program Ilmu
Pemerintahan FISIP Universitas Hasanuddin
Hamka. 2002. Falsafah Hidup. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas
Muntasyir & Munir (2002).Filsafat Ilmu Pengetahuan.http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/1871556-pengantar-filsafat(Online) diakses, 13 November 2013
Safitri,
M.18 November 2013. Filsafat Ilmu;
Aksiologi. Kepada syaiful Hamada (syaifulbiota27@gmail.com)
Wijayanta. 2012. Ilmu Dan Sikap Ilmiah. http://blog.unila.ac.id/rone/mata-kuliah/semester-3/filsafat-ilmu-pengetahuan/ (online) diakses 20 November 2013